Wednesday 11 July 2012

Kejar Rusa masuk kandang PHKA (Dephut) menahan


DIRJENAK  Kejar Rusa  masuk kandang   PHKA (Dephut) menahan.
Oleh: Sandi Suroyoco Sinambela.

Tidak Sepahaman Dirjen PHKA (Dephut) dengan Dirjen Peternakan (Deptan) Dalam Mengkomersialkan Rusa Sebagai Ternak.
Rusa si tabiat liar dikejar-kejar oleh DIRJENAK agar dapat dijadikan sebagai hewan ternak lantaran  memiliki potensi ekonomis. Rusa dapat menghasilkan daging, kulit, dan velvet (tanduk muda).  Domestikasi rusa   konservasi memang mulai berkembang di dunia. Dirjen peternakan berusaha  mengkomersialkan rusa menjadi ternak potong, namun belum ada sinkronisasi antara PP. No. 8 /1999 dengan SK. Mentan No. 404/Kpts/OT210/06/2002 tentang pemanfaatan rusa pada generasi F-2 terkendala oleh sulitnya penandaan.
Pemanfaatan rusa dalam berbagai kepentingan terutama dalam pemanfaatan daging untuk kebutuhan protein hewani. Disamping itu potensi rusa dalam biomedis, dan sebagai hewan wisata patut kita kembangkan. Kita disadarkan bahwa penting sekali  rusa  untuk diproduktifkan secara berkesinambungan. Komoditi unggulan rusa  dapat  berupa daging, rangga tua, rangga muda, dan kulinya tidak bisa lagi dilirik sebelah mata. Tanduk muda (velvet) yang sudah di keringkan harganya dapat mencapai US $ 120 per kg. Sangat menggiurkan bukan?
Bagai mana jika rusa secara intensif di ternakkan? Perkembangan rusa secara komersial memang menimbulkan perdebatan antara dirjenak dengan konservasi satwa liar. Pertama menganggap bahwa rusa termasuk golongan satwa langka yang harus di  lindungi sehingga apabila dilakukan pengembangan rusa secara komersial akan mengalami kepunahan. Ahli ekologi menyebutkan bahwa satwa langka yang harus dilindungi dan merupakan barang publik adalah  mekanisme yang  gagal. Rideout dan Hasselen menyatakan bahwa pemerintah adalah yang terbaik dalam mengelola satwa langka untuk menjaga kepunahannya. Sementara kelompok kedua justru sebaliknya bahwa rusa memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga apabila di kembangkan secara komersial akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan justru akan memperkecil kemungkinan terjadinya kepunahan
Memang konservasi dan komersial ada masing-masing keunggulan. Estimasi terhadap usaha pengembangan rusa di Taman Safari II Prigen misalnya, memperlihatkan bahwa keunggulan konservasi dari tenaga kerja dan hasil penjualan tiket. Akan tetapi jika di bandingkan secara keseluruhan ternyata pemeliharaan rusa secara komersial jauh lebih unggul dari konservasi. Waswas selalu menghantui para pelaku konservasi apabila dana yang didapat dari hasil produksi tidak sesuai dengan pemasukan, ditambah lagi konservasi biasanya tergantung pada pemberian dana dari pemerintah.
Negara New Zeland yang telah berhasil mengkomersialkan rusa ternyata ada hal penting yang berada di balik semua itu, Red deer yang telah punah di habitat aslinya dapat terselamatkan dan menjadi devisa yang menjanjikan bagi negara tersebut. Jadi kita tidak bisa langsung menyatakan bahwa pengomersialan rusa sebagai hewan ternak akan gagal.
Sebenarnya jika kita lihat undang-undang peternakan yang melarang pemotongan ternak betina usia produktif. Itu sudah efektif untuk melestarikan regenerasinya. Malah kasus yang kita lihat sekarang adalah perburuan rusa oleh masyarakat yang mengikis populasi rusa dari habitat aslinya. Anehnya sekarang kita hanya menjumpai rusa hanya di kebun binatang itupun akan terkikis habis juga karena dana yang kurang. Hanya di daerah konservasi yang ramai di kunjungi wisata saja konservasi di katakan sukses.
Restoran di Indonesia ternyata tertarik membuka peluang bisnis berupa kuliner daging rusa, tidak kalah juga dengan peminatnya. Daging rusa yang disebut-sebut dengan king’s food ini ternyata sangat diminati oleh kalangan menengah keatas. Restoran tersebut mendapat daging rusa dari luar negri. Nah ini yang seharusnya menjadi permasalahan yang baru. Kita telah memiliki konsumen yang berpotensi besar untuk memajukan prospek ini. Namun kita tidak bisa mengelola bagaimana supaya kita memiliki produsen.
Rusa dapat bertahan hidup selama 15-20 tahun menghasilkan anak 10-12 dengan rasio seks jantan:betina 1:2.  Karkas rusa 56-58% lebih tinggi dari sapi 51-55%. Persentasi protein rusa (rusa timorensis) 24,5% lemak 0,33 kolestrol 74, sedangkan pada sapi 18,3, lemak 18,9 dan kolestrol 95.  Bukankah ini keunggulan yang dapat kita pertimbangkan?
Dirjen peternakan sangat mendukung tentang domestikasi rusa. Bagai mana bisa keberhasilan domestikasi rusa, padahal selama ini hanya dalam konservasi. Konservasi terus terusan hanya akan membuat potensi rusa terkubur saja dan membuat program pendomestikasian jalan di tempat. Lalu apasih yang menjadi solusi atas ke tidak sepahaman ini? Nah pemerintah mesti harus memberikan pemahaman yang sama terhadap  DIRJENAK dan PHKA yang akan mengambil keputusan yang saling menguntungkan dan melibatkan kedua depattemen ini.


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang
Nama   : Sandi Suroyoco Sinambela
Nim     : 23010110110031
Hp       :  081263545630

No comments: