Prof
Agung ”Umur bertambah tua, Dewasa” belum tentu”.
Oleh:
Sandi Suroyoco Sinambela.
Khayal ku bertabur mimpi, dengan
berbagai harapan yang menjadi doa pada Sang Kuasa. Berusaha tidak terbuai
dengan apa yang sudah kutempuh. Seberkas cahaya memfokuskanku pada arah sebuah
tanya “ Tahun ini apa yang harus ku raih kelak! Aku ingin dewasa, aku ingin
bijak, aku ingin kreatif, aku ingin lulus, dan aku ingin.... dan 2014 aku harus
memulai dan melanjutkan itu.
Sejanak meneduhkan hati, berusaha
mencium jejak yang sudah kulalui sebagai cermin dan petunjuk arah yang akan
segera membangkitkan gairah hidup. Kadang kala luka bermunculan dan kucoba
tepiskan dan melupakan serta mencari jalan pemikiran yang lurus kembali.
Semuanya berarti dan semuanya itu adalah proses.
Dari benih ayahku, aku menjadi mahluk
hidup. Dari rahim ibuku, aku dikeluarkan berjuang menjadi insan, dirawat hingga
balita, disekolahkan jadi SD, beranjak SMP, SMA dan kini kuliah, serta
selangkah lagi aku akan mengakhiri masa MAHASISWA. Aku miliki hari hari pahit dan aku miliki hari
hari yang indah. Detik, menit, jam, hari, dan tahun terlewati dengan suka duka.
4 Januari 2014 saya menginjak umur 22,
sejenak merefleksikan diri. Ditengah lagi
fokus mengerjakan skripsi, yang ada dalam benak saya adalah saya ingin tegas
seperti pak Sularno dan pingin sekali smart kreatif seperti prof Agung. Beliau adalah dua dosen pembimbing skripsi
saya.
Bayak kalimat yang diucap beliau
menuntunku, menjadi sebuah motivasi hidup.
Seringkali memberi titik terang dari kejenuhan yang kudapat.
....“Menjadi tua itu gampang,,, tetapi
belajar untuk dewasa adalah hal yang susah”... Prof Agug
Purnomoadi dengan senyumnya yang lebar menyampaikan
kata-kata ini.
Padahal hari-hari sebelumnya saya merasa
sedih karena orang tua tak kunjung mengirimkan bulanan “bu, pa, apa sudah lupa
punya anak di semarang?” sebenarnya tak pantas saya mengeluh dengan hal itu,
tapi masalahnya kantong sudah mengaga
dan sudah tengah bulan tgl 16. Sudah
begitu saya selalu berhemat diri untuk membayar uang kos sendiri dari bulanan
yang pas-pasan itu.
Mengingat kalimat “belajar untuk
dewasa” saya mendinginkan hati dan meluruskan pikiran yang sudah kacau. Aku
harus mengerti kondisi orang tua yang menguliahkan aku dan adik ku. Saat itu
aku sadar adikku harus didahulukan karna dia masih maba (2013). Sesaat aku berpikir, aku yang paling tua dan
harus mengalah.
Mengingat
kejadian ini saya sadar bahwa menjadi dewasa itu tidak mudah.
Pada bulan Oktober 2013 saya membuat
perjanjian pada diri sendiri, ini terkait dengan skripsi yang akan segera saya
kerjakan. “melewati tahun baru saya
sudah harus maju dua kali konsul skripsi”. Saya menepati hal itu, akan
tetapi masih ada yang menganjal dalam benatku. Mengapa aku masih terlihat sok
sibuk, temperamen, membisu tak jelas, dan stres dengan skripsi itu. Apakah ini
artinya saya masih berjuang melawan malas? Atau sebenarnya saya tidak
mensyukurinya! Sebenarnya saya sudah
dijalan terang, tapi mengapa kadang kala saya melompat dari jalan itu, tidak
berjuang perlahan-demi perlahan menyelesaikannya.
Saat
refleksi itu juga saya mengingat kejadian
Jangan lari dari
tanggung jawab, tetapi selesaikanlah secara perlahan.
....“saya sudah berkali kali melakukan hal yang
anda lakukan tapi saya tidak sesibuk itu”....
Salah satu teman mengeluh dan mengeluarkan
air mata didepan beliu (prof Agung).
Yang pasti si mahasiswa (sebut saja bunga) ada masalah dalam tim
penelitiannya. Saat itu saya sadar
berarti tidak ada gunanya mengeluh dengan apa yang kita kerjakan. Jika kita merasa sangat sulit melakukan suatu
pekerjaan maka kita harus menatap pekerjaan yang lebih berat dari pada
itu. Pelajaran yang saya dapatkan adalah
“seberat apapun pekerjaan kita, jika berusaha dan berjuang terus maka semuanya
akan terselesaikan dengan baik dan kita akan merasa optimal.
Saya diajari berpikir luas, ilmu itu
bukanlah hal yang kaku, tetapi terkadang orang yang mencari ilmu itulah yang
mengakukan diri karna terlebih dahulu takut dengan tantangan yang ada. Saya yakin bahwa pengetahuan yang beliau
miliki sudah menumpuk seperti gunung.
Dan yang menarik ketika beliau mengekspresikannya, yang saya lihat bahwa
beliau bagi burung kenari yang mengkombinasikan suara, gerak dan warna. Tak bosan-bosannya saya terpukau mengikuti
arah pembisaraan beliau, meskipun kadang kala saya malah tersesat tak mampu
mengikutinya.
Yang membuat saya bingung adalah saya
tidak bisa membedakan beliau sedang stres atau tidak, semuanya terlihat
happy. Ditengah kesibukan yang luar
biasa beliau selalu mampu mempertahankan ritme emosinya tetap terjaga. “andaikan aku bisa mengetahui respon
fisiologis beliau” mungkin dari situlah
saya bisa menyimpulkan ada tidaknya stres yang dialami beliau.
Perkataan beliau menunjukkan pada
saya jalan terang lagi dan membuat momentum yang luar biasa untuk melangkah dengan
semangat.
Kalimat-kalimat
tersebut menjadi sebuah pelajaran ditengah bertambahnya umurku. Ya! Dengan bertambahnya umur otomatis kita
akan semakin tua. Ternyata kedewasaan tidak bertumpu pada umur. Dewasa saya
artikan sebagai mampu memberi, bijak, rendah
hati, tegas, dan bersyukur.