EFEK
PEMBERIAN KECAMBAH KACANG HIJAU (TAUGE) TERHADAP TINGKAT KESUBURAN MENCIT BETINA (Mus musculus)


Oleh :
KELOMPOK VIIIB
SANDY S 23010110110031
IKA KHIKMAWATI 23010110110082
ARIF NURCAHYONO 23010110110069
JESICA SIBARANI 23010110110006
ARIF NURCAHYONO 23010110110069
JESICA SIBARANI 23010110110006
M.AINSYAR 23010110120123
BTARA PRAMU AJI 23010110130162
DWI WIJAYANTI 23010110130189
BTARA PRAMU AJI 23010110130162
DWI WIJAYANTI 23010110130189
ANNISA NUR MAULIDA 23010110130206
ROMERTO SINAGA 23010110130226

JURUSAN S1 PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2013
JUDUL : EFEK PEMBERIAN KECAMBAH KACANG HIJAU (TAUGE) TERHADAP TINGKAT KESUBURAN MENCIT BETINA (Mus musculus).

I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kunci sukses
dalam usaha peternakan adalah sejauh perusahaan tersebut mampu menghasilkan
kontinuitas produknya. Kontinuitas bisa diciptakan dengan adanya perbaikan
penampilan reproduksinya. Reproduksi ternak ditentukan oleh kesuburan ternak untuk
menghasilkan aktivitas reproduksi. Untuk menghasilkan tingkat kesuburan
yang baik dibutuhkan dukungan organ - organ kelamin yang dapat berfungsi
dengan normal. Selain itu juga dibutuhkan pakan yang berkualitas. Salah satu
nutrisi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesuburan adalah vitamin E. Vitamin E berfungsi untuk anti oksidan alami yang melindungi karoten dan nutrisi
lain yang mudah teroksidasi. Vitamin E mampu menekan peroksidasi lipid pada membran
sel sehingga akan melindungi membran dari kerusakan.
Vitamin tersebut banyak terdapat pada biji-bijian, minyak
gandum dan kecambah kacang hijau. Dalam hal ini akan dilakukan penelitian pada
hewan mencit sebagai uji coba sebelum diberikannya perlakuan kepada hewan
ternak. Dipilih hewan mencit karena mencit merupakan hewan laboratorium yang
mudah dipelihara.
Tujuan dan manfaat dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pemberian kecambah kacang hijau (tauge) terhadap tingkat kesuburan sebagai
bahan pakan tambahan untuk mencit
betina. Manfaat dilaksanakannya penelitian ini
adalah untuk mengetahui berapa banyak taraf
pemberian pakan tambahan berupa kecambah kacang hijau (tauge) yang berpengaruh
terhadap kesuburan mencit
betina.

II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
MENCIT
Mencit
termasuk filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae,
genus Mus dan spesies Mus musculus (Arrington, 1972).
Mencit merupakan hewan yang paling
banyak digunakan sebagai hewan model untuk percobaan laboratorium dengan
kisaran 40-80%. Hal ini disebabkan karena mencit sangat produktif dan mudah
dikelola (Inglis, 1980). Hewan ini mudah
didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya relatif murah, ukurannya kecil
sehingga mudah ditangani, dan jumlah anaknya banyak (Yuwono et al.,
1994).
Alasan
digunakannya hewan laboratorium sebagai objek penelitian dalam bidang
peternakan, diantaranya karena biaya yang dibutuhkan tidak begitu mahal,
efisien dalam waktu, kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat dan
sifat genetik dapat dibuat seseragam
mungkin dalam waktu yang lebih pendek dibanding ternak yang lebih besar
(Arrington , 1972).
2.2.
Karakteristik Mencit
Karakteristik Mencit
2.3.
Fisiologi Mencit
2.4. Konsumsi Pakan Mencit
Konsumsi pakan
merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut
diberikan add
libitum dalam jangka waktu tertentu (Parakkasi,
1999). Seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi makanan 3-5 g setiap hari.
Mencit bunting atau menyusui memerlukan makanan yang lebih banyak. Makanan yang
sering digunakan adalah makanan ayam dengan kandungan protein 20–25%, lemak 5%,
pati 45–50%, serat kasar 5%, abu 4–5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit membutuhkan makanan
berkadar protein diatas 14%. Kebutuhan protein untuk kondisi Indonesia dapat dipenuhi dari makanan ayam petelur (17%
protein) dan seekor mencit dewasa membutuhkan 15 g makanan dan 15 ml air per
100 g bobot badan per hari (Malole dan Pramono, 1989).
2.5. BOBOT LAHIR
Bobot
lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan. Bobot lahir ternak ditentukan oleh
pertumbuhan fetus sebelum lahir atau pertumbuhan
selama di dalam kandungan induknya. Pertumbuhan
sebelum lahir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya mutu genetik ternak,
umur serta bobot badan induk yang melahirkan,
pakan induk dan suhu lingkungan selama kebuntingan (Toelihere, 1979). Bobot lahir mencit berkisar antara 0,5-1,5
g/ekor (Malole dan Pramono, 1989).
Faktor
lingkungan termasuk ukuran, nutrisi induk, jumlah anak sepelahiran, ukuran
plasenta dan tekanan iklim (Hafez, 1993). Waktu foetus
mulai tumbuh di dalam uterus, foetus
memperoleh zat-zat makanan dari induknya. Apabila zat-zat makanan dari induk tidak mencukupi selama kebuntingan, maka bobot
badan anak mencit pada waktu dilahirkan akan subnormal dan kekuatannya akan
berkurang. Kekurangan vitamin dan mineral dalam ransum induk selama
kebuntingan akan mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap kekuatan anak dengan tidak memperlihatkan pengaruh yang besar
terhadap bobot lahir. Bobot lahir yang ringan
tidak mempunyai pengaruh terhadap bentuk dewasa
bila zat-zat makanan yang diberikan cukup
setelah dilahirkan (Anggorodi, 1979).

2.6. REPRODUKSI MENCIT BETINA
Mencit memiliki sifat reproduksi yang tinggi yaitu
polyestrus dan mengalami oestrus post partum 14-28 jam setelah partus yang
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi anak. Namun, jika induk langsung
dikawinkan setelah partus atau beranak maka dapat mengakibatkan kebuntingan
yang lebih lama 3-5 hari daripada lama kebuntingan sebelumnya dan kebuntingan
terjadi pada saat induk masih menyusui anak (Malole dan Pramono, 1989). Faktor
lain yang dapat mempengaruhi sifat reproduksi mencit adalah umur induk. Umur
induk merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap jumlah sel telur dan
respon hormon yang dihasilkan (Sunarti, 1992). Penurunan fertilitas dan jumlah
anak per kelahiran terjadi pada mencit yang mengalami siklus estrus tidak
teratur saat umur setengah tua (Day et al., 1991).
2.7. VITAMIN E
Vitamin E
(tokoferol) adalah minyak yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, khususnya benih
gandum, beras dan biji kapas. Susunan kimia vitamin E terdiri dari nucleus
chroman dan rantai samping isoprenoid. Sifat umum vitamin E adalah tahan panas,
mudah dioksidasikan dan rusak apabila terdapat dalam lemak tengik. Vitamin E berfungsi dalam reaksi fosforilasi,
metabolisme asam nukleat, sintesis asam askorbat dan sintesis ubiquinon,
reproduksi, mencegah encephalomalasia dan distorsi otot. Vitamin E terdapat di
alam yaitu pada lemak dan minyak hewan atau tanaman terutama bagian kecambah
gandum, telur, dan kolostrum sapi. Defisiensi vitamin E dapat menyebabkan
degenerasi epitel germinal pada hewan jantan serta resorpsi embrio pada hewan
betina (pada mamalia) yang tergantung pada vitamin E. Vitamin E sudah lama dikenal sebagai salah satu antioksidan yang
mampu menangkal radikal bebas penyebab kerusakan pada jaringan tubuh, sehingga
kesehatan jaringan dapat lebih terjaga dan fungsi kerjanya pun dapat lebih
dioptimalkan. Untuk jaringan reproduksi terutama berfungsi untuk menjaga
kesehatan sperma karena vitamin E terbukti mampu untuk melindungi membran
sperma dari kerusakan akibat oksidasi. Di mana kita ketahui, rusaknya DNA
sperma merupakan salah satu penyebab terjadinya ketidaksuburan. kekurangan
vitamin E juga berpengaruh pada turunnya produksi enzim dan hormon-hormon kunci
yang bertanggung jawab pada pembentukan sperma (Widodo, 2006).
2.8. Tauge (Kecambah Kacang Hijau)
Kecambah atau tauge adalah tumbuhan sporofit
muda yang baru saja berkembang dari tahap embrionik di dalam biji. Tahap
perkembangannya disebut perkecambahan dan merupakan satu
tahap kritis dalam kehidupan tumbuhan (Jajarmi, 2009). Kecambah sering
digunakan sebagai bahan pangan dan
digolongkan sebagai sayur-sayuran.
Khazanah boga Asia
mengenal tauge
sebagai bagian dari menu yang cukup umum. Kecambah dikatakan makanan sehat
karena kaya akan vitamin
E. Tauge
segar sangat kaya akan vitamin
E, dan merupakan menu yang sangat
dianjurkan untuk dikonsumsi. Dengan mengonsumsi tauge, tubuh akan terobati
dan tercegah dari kekurangan vitamin E (National Education
Board, 1899). Dalam kecambah, terkandung fitoestrogen yang dapat
berfungsi seperti estrogen bagi wanita (Cabot, 1995).

III.
MATERI
DAN METODE
Penelitian
dilakukan pada bulan Mei, 2013 di Laboratorium Genetik Pemuliaan dan Reproduksi Ternak
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1
Materi
Materi
yang digunakan yaitu hewan laboratorium berupa mencit betina usia 8 minggu minggu sebanyak 12
ekor. Alat yang digunakan adalah mikroskop,
pipet pasteur, gelas objek, kamar hitung neubauer, dan kandang yang digunakan
sebagai tempat tinggal mencit. Setiap ekor mencit
ditempatkan secara terpisah dengan yang lain. Pakan yang digunakan adalah pakan
ayam dengan kandungan protein ≥ 17% serta kecambah yang diberikan segar.
3.2
Metode
Metode
yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mulai dari persiapan peralatan dan
kandang. Mencit yang sudah terseleksi dikelompokkan ke dalam kandang (6 ekor setiap kandang).
Kelompok mencit pada masing – masing
kandang `adalah
sebagai perlakuan kelompok 1, yang tidak diberi tambahan kecambah segar
sedangkan kelompok 2 diberi tambahan kecambah segar 10% dari total pemberian
pakan dengan pola pengawinan pejantan yang sama. Parameter yang diukur pada
mencit betina adalah pertambahan bobot badan, litter size, dan bobot anak.
Mengunakan
metode Paired Sample t test yang merupakan teknik
analisis untuk membandingkan 2 perlakuan,
dengan parameter yang diamati adalah pertambahan bobot badan, litter size, dan bobot anak.
Rumus Paired Sample
t test :
t = 

Keterangan :
t
= nilai hitung t
D = Rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD= Standar deviasi
selisih pengukuran 1 dan 2
N
= Jumlah sample
IV. Jadwal Penelitian
Kegiatan
|
Mei
|
||||||||||||||||||||
Minggu 1
|
Minggu 2
|
Minggu 3
|
Minggu 4
|
||||||||||||||||||
Persiapan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyusunan proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Konsultasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pelaksanaan penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengumpulan data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Analisis data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
V. Rencana Anggaran Biaya
No.
|
Barang
|
Biaya
|
1.
2.
3.
|
Pembelian Mencit 12
ekor @ Rp 15.000,-
Pembelian Kecambah
Pembuatan
kandang
Jumlah
|
Rp 180.000,00
Rp 20.000,00
Rp 30.000,00
Rp 230.000,00
|

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
Arrrington,
L.R. 1972. Introductory Laboratory Animal Sciene, The Breeding, Care and
Management of Experimental Animal. The Interstate Printers and Publishers. Inc.
Danville.
Cabot, M. D. S. 1995. Smart
Medicine for Menopause: Hormone Replacement Therapy and Its Natural
Alternatives. Avery Publishing Group. ISBN 0-89529-628-4.
Day, J. R., P. S. Lapolt, T. H. Morales dan K. K.
H. Lu. 1991. Plasma pattern of prolactin , progesterone and estradiol during
early pregnancy in angingbrats : Relation to embryonic development. Biology
Reproduction 44:786-790.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduksi in Farm Animal.6 th Edit. Lea and Febiger, Philadelphia.
Inglis,
J.K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Sciene and Technology. Pergamon
Press Ltd. Oxford.
Jajarmi, V. 2009. Effect of Water
Stress on Germination Indices in Seven Wheat Cultivar. World Academy of
Science, Engineering and Technology 49: 105–106.
Malole,
M.B.M dan C.S.U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan – hewan Percobaan di
Laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
National Education Board (1899). Fourth
book of lessons for the use of schools. Ireland. National Education Board.
Parakkasi,
A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak
Ruminan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Smith,
B.J. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan
Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Sunarti. 1992. Pengaruh umur induk terhadap
perkembangan awal embrio mencit (Mus musculus albinos) hasil
superovulasi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak.
Penerbit Angkasa, Bandung.
Widodo, E. 2006. Pengantar Ilmu
Nutrisi Ternak. UMM, Malang.
Yuwono,
S. S., E. Sulaksono dan R. P. Yekti.
1994. Keadaan nilai normal baku mencit
strain CBR Swiss Derived di pusat penelitian penyakit menular.
http://www.kalbefarma.com. 20 Desember
2005.
No comments:
Post a Comment