DIRJENAK Kejar Rusa masuk kandang
PHKA (Dephut) menahan.
Oleh: Sandi Suroyoco Sinambela.
Tidak Sepahaman Dirjen PHKA (Dephut)
dengan Dirjen Peternakan (Deptan) Dalam Mengkomersialkan Rusa Sebagai Ternak.
Rusa si tabiat liar dikejar-kejar oleh DIRJENAK agar dapat
dijadikan sebagai hewan ternak lantaran memiliki potensi ekonomis. Rusa dapat
menghasilkan daging, kulit, dan velvet (tanduk muda). Domestikasi rusa konservasi memang mulai berkembang di dunia.
Dirjen peternakan berusaha mengkomersialkan
rusa menjadi ternak potong, namun belum ada sinkronisasi antara PP. No. 8 /1999
dengan SK. Mentan No. 404/Kpts/OT210/06/2002 tentang pemanfaatan rusa pada
generasi F-2 terkendala oleh sulitnya penandaan.
Pemanfaatan rusa dalam berbagai kepentingan terutama dalam
pemanfaatan daging untuk kebutuhan protein hewani. Disamping itu potensi rusa
dalam biomedis, dan sebagai hewan wisata patut kita kembangkan. Kita disadarkan
bahwa penting sekali rusa untuk diproduktifkan secara berkesinambungan.
Komoditi unggulan rusa dapat berupa daging, rangga tua, rangga muda, dan kulinya
tidak bisa lagi dilirik sebelah mata. Tanduk muda (velvet) yang sudah di
keringkan harganya dapat mencapai US $ 120 per kg. Sangat menggiurkan bukan?
Bagai mana jika rusa secara intensif di ternakkan? Perkembangan
rusa secara komersial memang menimbulkan perdebatan antara dirjenak dengan
konservasi satwa liar. Pertama menganggap bahwa rusa termasuk golongan satwa
langka yang harus di lindungi sehingga
apabila dilakukan pengembangan rusa secara komersial akan mengalami kepunahan.
Ahli ekologi menyebutkan bahwa satwa langka yang harus dilindungi dan merupakan
barang publik adalah mekanisme yang gagal. Rideout dan Hasselen menyatakan bahwa
pemerintah adalah yang terbaik dalam mengelola satwa langka untuk menjaga
kepunahannya. Sementara kelompok kedua justru sebaliknya bahwa rusa memiliki
nilai ekonomi tinggi sehingga apabila di kembangkan secara komersial akan
memberikan manfaat bagi masyarakat dan justru akan memperkecil kemungkinan terjadinya
kepunahan
Memang konservasi dan komersial ada masing-masing
keunggulan. Estimasi terhadap usaha pengembangan rusa di Taman Safari II Prigen
misalnya, memperlihatkan bahwa keunggulan konservasi dari tenaga kerja dan
hasil penjualan tiket. Akan tetapi jika di bandingkan secara keseluruhan
ternyata pemeliharaan rusa secara komersial jauh lebih unggul dari konservasi.
Waswas selalu menghantui para pelaku konservasi apabila dana yang didapat dari
hasil produksi tidak sesuai dengan pemasukan, ditambah lagi konservasi biasanya
tergantung pada pemberian dana dari pemerintah.
Negara New Zeland yang telah berhasil mengkomersialkan rusa
ternyata ada hal penting yang berada di balik semua itu, Red deer yang telah
punah di habitat aslinya dapat terselamatkan dan menjadi devisa yang
menjanjikan bagi negara tersebut. Jadi kita tidak bisa langsung menyatakan
bahwa pengomersialan rusa sebagai hewan ternak akan gagal.
Sebenarnya jika kita lihat undang-undang peternakan yang
melarang pemotongan ternak betina usia produktif. Itu sudah efektif untuk
melestarikan regenerasinya. Malah kasus yang kita lihat sekarang adalah
perburuan rusa oleh masyarakat yang mengikis populasi rusa dari habitat
aslinya. Anehnya sekarang kita hanya menjumpai rusa hanya di kebun binatang
itupun akan terkikis habis juga karena dana yang kurang. Hanya di daerah
konservasi yang ramai di kunjungi wisata saja konservasi di katakan sukses.
Restoran di Indonesia ternyata
tertarik membuka peluang bisnis berupa kuliner daging rusa, tidak kalah juga
dengan peminatnya. Daging rusa yang disebut-sebut dengan king’s food ini
ternyata sangat diminati oleh kalangan menengah keatas. Restoran tersebut
mendapat daging rusa dari luar negri. Nah ini yang seharusnya menjadi
permasalahan yang baru. Kita telah memiliki konsumen yang berpotensi besar
untuk memajukan prospek ini. Namun kita tidak bisa mengelola bagaimana supaya
kita memiliki produsen.
Rusa dapat bertahan hidup selama 15-20
tahun menghasilkan anak 10-12 dengan rasio seks jantan:betina 1:2. Karkas rusa 56-58% lebih tinggi dari sapi
51-55%. Persentasi protein rusa (rusa timorensis) 24,5% lemak 0,33 kolestrol
74, sedangkan pada sapi 18,3, lemak 18,9 dan kolestrol 95. Bukankah ini keunggulan yang dapat kita
pertimbangkan?
Dirjen peternakan sangat mendukung tentang domestikasi rusa.
Bagai mana bisa keberhasilan domestikasi rusa, padahal selama ini hanya dalam
konservasi. Konservasi terus terusan hanya akan membuat potensi rusa terkubur
saja dan membuat program pendomestikasian jalan di tempat. Lalu apasih yang
menjadi solusi atas ke tidak sepahaman ini? Nah pemerintah mesti harus memberikan
pemahaman yang sama terhadap DIRJENAK
dan PHKA yang akan mengambil keputusan yang saling menguntungkan dan melibatkan
kedua depattemen ini.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Semarang
Nama : Sandi Suroyoco Sinambela
Nim : 23010110110031
Hp : 081263545630
No comments:
Post a Comment