BAB I
PENDAHULUAN
Kebutuhan pakan di Indonesia
semakin meningkat seiring dengan laju perkembangan usaha peternakan. Salah satu
upaya yang dapat menunjang yaitu dengan ketersediaan hijauan yang cukup,
kontinyu sepanjang tahun dan mengandung nilai gizi yang cukup. Kenyataannya, kontinyuitas
penyediaan pakan hijauan masih mendapat hambatan akibat lahan untuk produksi
semakin langka karena penggunaannya diorientasikan untuk pertanian tanaman
pangan.
Pengolahan pakan merupakan suatu teknologi
pengawetan dan peningkatan kualitas hijauan. Pengolahan pakan dilakukan untuk
meningkatkan dan menjaga kualitas hijauan, serta dapat menyimpan hijauan yang
melimpah di musim hujan untuk memenuhi kebutuhan ternak pada musim kemarau.
Daun gamal merupakan salah satu
tanaman leguminosa yang sering digunakan untuk pakan ternak, terutama ternak
kambing. Ketersediaannya yang sangat melimpah merupakan salah satu alasan daun
gamal banyak dimanfaatkan menjadi silase. Jerami padi memiliki kelemahan dalam
segi nutrisinya yaitu kandungan serat kasarnya tinggi. Pemberian pakan pada ternak dapat diberikan
berbentuk olahan seperti hasil olahan silase maupun amoniasi.
Tujuan dari praktikum Teknologi
Pengolahan Pakan yaitu mengetahui cara pembuatan silase dan amoniasi. Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri silase dan
jerami amoniasi yang baik dilihat dari organoleptik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gamal
Gamal (Gliricidia
sepium) merupakan salah satu jenis tanaman atau leguminosa pohon yang
sering digunakan sebagai pohon pelindung tanaman kakao. Gamal dapat
dimanfaatkan sebagai pakan basal ternak kambing maupun pakan campuran melalui
proses pelayuan. Pemanfaatan daun gamal sebagai sumber pakan ruminansia sangat
memungkinkan dan beralasan, mengingat tanaman gamal dapat tumbuh dengan baik
pada tanah yang kurang subur, tahan terhadap kekeringan dan produksi hijauan
tinggi (Tillman et al., 1991). Daun
gamal mengandung 27% bahan kering, 2,6% abu, 0,8% lemak, 4,8% serat kasar,
19,9% protein kasar dan 21,1 bahan ekstrak tanpa nitrogen (Hartadi et al., 1993)
2.2. Jerami padi
Jerami padi adalah bagian tanaman padi yang sudah
diambil produk utamanya, di dalamnya termasuk batang, daun, dan merang.
Produksi jerami padi dihasilkan sekitar 50% dari produksi gabah kering panen.
Jerami ternasuk pakan kasar yaitu bahan pakan yang berasal dari limbah
pertanian atau tanaman yang sudah dipanen (Tillman et al., 1991). Kandungan jerami padi terdiri atas protein kasar 4,5
%, serat kasar 35%, lemak kasar 1,55%, abu 16,5%, kalsium 0,19%, fosfor 0,1%,
energi TDN (Total Digestible Nutrients)
43%, energi DE (Digestible Energy)
1,9 kkal/kg, dan lignin yang tinggi
(Siregar, 1996).
2.3. Bekatul
Bekatul merupakan salah satu bahan
pakan yang tergolong sebagai sumber energi. Bekatul diperoleh dari hasil
sampingan dari pengolahan padi. Kandungan nutrisi yang terdapat dalam bekatul
antara lain 87% bahan kering, 70% TDN (Hartadi et al., 1993). Bekatul merupakan hasil sampingan dari proses
penyosohan padi yang kandungan gizi dan komposisi kimianya cukup tinggi, yaitu
protein 11,3 - 14,4%; lemak 15,0 - 19,7%; serat kasar 7,0 - 11,4%; karbohidrat
34,1 - 52,3% dan abu 6,6 - 9,9% (Lubis et
al., 2002).
2.4. Urea
Urea merupakan bahan pakan potensial yang
mengandung non protein nitrogen (NPN). Setiap kilogram urea mempunyai nilai
yang setara dengan 2,88 kg protein kasar (6,25x46%). Urea dalam proporsi
tertentu mempunyai dampak positif terhadap peningkatan konsumsi serat kasar dan
daya cerna. Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 banyak
digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harganya
sangat murah dan sedikit keracunan yang diakibatkannya. Urea berbentuk kristal
padat berbentuk putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42-45%
atau protein kasar antara 26,2-28,1%
(Siregar, 1996). Urea
merupakan bahan padat yang disintesis dengan menggabungkan amoniak dan CO2.
Urea mengandung enzim urease yang dapat diuraikan menjadi amoniak dan CO2.
Pembuatan amoniasi dengan menggunakan urea sebaiknya dicampur air agar proses
pengadukan urea merata (Komar, 1984).
2.5. Silase
Silase adalah hijauan makanan ternak
yang disimpan dalam keadaan segar, dalam suatu tempat yang disebut silo. Silo
merupakan tempat penyimpanan makanan ternak (hijauan) baik yang dibuat dalam
tanah maupun diatas tanah. Silase merupakan suatu proses fermentasi dengan
maksud mengawetkan hijauan dalam keadaan basah (lembab). Hal-hal yang dapat
menyebabkan kerusakan silase adalah pemadatan hijauan dalam silo yang kurang
sempurna dan penutupan silo yang tidak sempurna (Komar, 1984). Silase yang
berkualitas baik mempunyai ciri-ciri teksturnya tidak berubah, tidak
menggumpal, berwarna hijau seperti daun direbus dan berbau asam. Silase
merupakan hijauan yang diawetkan dengan cara fermentasi dalam kondisi kadar air
yang tinggi (40-80%) . Keunggulan pakan yang dibuat silase adalah pakan awet
(tahan lama), tidak memerlukan proses pengeringan, meminimalkan kerusakan zat
makanan/gizi akibat pemanasan serta mengandung asam-asam organik yang berfungsi
menjaga keseimbangan populasi mikroorganisme pada rumen (perut) sapi
(Febrisiantosa, 2007).
Udara (oksigen) dapat masuk, populasi
yeast dan jamur akan meningkat dan menyebabkan panas dalam silase karena proses
respirasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemadatan bahan baku silase terkait
dengan ketersediaan oksigen di dalam silo, semakin padat bahan, kadar oksigen
semakin rendah sehingga proses respirasi semakin pendek (Murni et al., 2008). Kualitas silase
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : asal atau jenis hijauan, temperatur
penyimpanan, tingkat pelayuan sebelum pembuatan silase, tingkat kematangan atau
fase pertumbuhan tanaman, bahan pengawet, panjang pemotongan, dan kepadatan
hijauan dalam silo (Regan, 1997).
Pembuatan silase perlu ditambahkan
bahan pengawet agar terbentuk suasana asam dengan derajat keasaman optimal. Bau
asam dapat dijadikan sebagai indikator untuk melihat keberhasilan proses
ensilase, sebab untuk keberhasilan proses ensilase harus dalam suasana asam dan
secara anaerob (Siregar, 1996). Tidak tumbuhnya jamur dalam proses pembuatan silase
ini sangat penting untuk dipertahankan karena pH pertumbuhan optimum jamur
adalah 4,0-6,5 (Syarief et al,. 2003)
2.6. Amoniasi
Amoniasi merupakan suatu cara
pengolahan jerami padi secara kimiawi dengan
menggunakan gas ammonia, 1 kg urea menghasilkan 0,57 kg gas ammonia
(Siregar, 1996). Manfaat dari amoniasi yaitu merubah tekstur dan warna jerami
yang semula keras berubah menjadi lunak dan rapuh, warna berubah dari kuning
kecoklatan menjadi coklat tua, meningkatkan kadar protein, serat kasar, energi
bruto tetapi menurunkan kadar BETN dan dinding sel, meningkatkan bahan kering,
bahan organik, dinding sel, nutrien tercerna total, energi tercerna, dan
konsumsi bahan kering jerami padi, NH3 cairan rumen meningkat, memberikan
bahan nitrogen yang positif, menghambat pertumbuhan jamur, dan memusnahkan
telur cacing yang terdapat dalam jerami (Rahardi, 2009).
Tujuan amoniasi adalah untuk menguraikan ikatan serat yang sangat kuat pada
dinding jerami tersebut agar sellulosa dan hemisellulosa yang mempunyai nilai
energi sangat tinggi bisa di cerna dan diserap oleh pencernaan ternak
ruminansia (Tonysapi, 2008). Kandungan urea pada proses
amoniasi mempengaruhi tinggi rendahnya kandungan amoniak (Soejono, 1986).
Amoniasi disebut dengan perlakuan alkali karena dalam proses tersebut NH3
bersifat alkali. Keuntungan dari proses amoniasi antara lain cara pengerjaannya
tidak berbahaya, murah, menghilangkan kontaminasi mikroorganisme, meningkatkan
protein kasar sampai dua kali lipat, meningkatkan jumlah konsumsi pakan karena
jerami amoniasi lebih palatable (Soejono, 1986). Ciri – ciri kualitas amoniasi
yang baik yaitu berbau amonia menyengat, berwarna coklat tua, tekstur remah, pH
basa dan tidak berjamur atau menggumpal, bersifat anaerob (Komar, 1984).
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan
dengan materi Silase dan Amoniasi yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 19 Mei
sampai 9 Juni 2011 pukul 09.00 - 11.00 WIB di Laboratorium Teknologi Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
3.1.1. Silase
Bahan yang digunakan dalam praktikum silase adalah daun gamal sebanyak 500
gram dan bekatul 7,5 gram. Peralatan yang digunakan dalam silase adalah pisau untuk memotong-motong daun
gamal, timbangan untuk menimbang daun gamal, plastik
sebagai tempat proses fermentasi daun
gamal dengan bekatul, nampan sebagai tempat mencampur daun gamal dengan bekatul, kertas label
untuk menandai plastik pada perlakuan, pH meter untuk
mengukur pH dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.
3.1.2. Amoniasi
Bahan yang digunakan dalam praktikum amoniasi adalah jerami padi sebanyak 500 g, urea sebanyak 28 g dan air sebanyak 83,33 ml. Peralatan yang
digunakan dalam amoniasi adalah pisau untuk memotong-motong jerami, timbangan
untuk menimbang jerami dan urea, plastik sebagai tempat proses amoniasi jerami
dengan urea, nampan sebagai tempat mencampur jerami dengan larutan urea, gelas
ukur untuk mengukur volume air untuk melarutkan urea, kertas label untuk
memberi tanda plastik perlakuan, pH meter untuk mengukur pH dan alat tulis
untuk mencatat hasil pengamatan.
3.2.1.
Metode
3.2.2.
Silase
Metode yang digunakan dalam praktikum pembuatan silase adalah melayukan daun gamal sampai kadar air 65%,. Mencampur dengan 7,5 gram
bekatul sampai homogen, Memasukkan kedalam plastik dan memadatkannya dengan
memberi termometer. Menutup rapat, dipadatkan dan menyimpannya dengan aman.
Masing – masing sampel dilakukan dua kali perlakuan. Mengamati perlakuan
tersebut selama 3 minggu. Setiap minggu diamati
organoleptiknya mulai dari minggu ke-0, minggu ke-1, minggu ke-2 dan minggu
ke-3 berupa warna, bau, rasa, tekstur dan pH.
Rumus kebutuhan bekatul :
Kebutuhan bekatul = dosis bekatul x BK daun gamal
3.2.3.
Amoniasi
Metode yang digunakan dalam praktikum pembuatan amoniasi jerami
adalah memotong jerami 5 – 10 cm , menimbang jerami
sebanyak 500 gram, menambahkan urea sebanyak 28 gram dari bahan kering jerami,
melarutkan urea dengan air sebanyak 83,3 ml dan mencampurnya dengan jerami
sampai homogen, memasukkan kedalam plastik dengan menutup rapat dan
menyimpannya dengan aman. Mengamatinya selama 3 minggu.
Setiap minggu diamati organoleptiknya mulai dari minggu ke-0, minggu ke-1,
minggu ke-2 dan minggu ke-3 berupa warna, bau, rasa, tekstur dan pH.
Rumus kebutuhan urea :
Kebutuhan urea =
dosis urea x BK jerami padi
Rumus perhitungan penambahan air :
Volume air yang dibutuhkan =
Keterangan:
a = air yang dibutuhkan (ml)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Silase
Hasil pengamatan praktikum
pembuatan silase daun gamal dengan
penambahan bekatul disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Silase Daun
Gamal dengan Bekatul
Kriteria
|
Minggu 0
|
Minggu 1
|
Minggu 2
|
Minggu 3
|
Skor
|
Warna
|
Hijau
|
Hijau kecoklatan
|
Hijau kecoklatan
|
Hijau seperti daun
direbus
|
8
|
Bau
|
Segar
|
Sangat busuk
|
Busuk
|
Sangat busuk dan
merangsang
|
3
|
Rasa
|
Hambar
|
Asam
|
Asam
|
Asam
|
4
|
Tekstur
|
Sesuai asli
|
Lembek
|
Agak remah
|
Lembek
|
3
|
pH
|
6,08
|
5,37
|
5,23
|
5,04
|
5
|
Suhu
|
28,55
|
28,2
|
28,45
|
28,4
|
|
Jamur
|
Tidak
|
Tidak
|
Sedikit
|
Banyak
|
2
|
Penggumpalan
|
Tidak
|
Tidak
|
Menyeluruh
|
Menyeluruh
|
3
|
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan
Pakan, 2011.
4.1.1. Bau dan rasa
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bau dari silase daun gamal diperoleh
hasil pada minggu ke-0 masih berbau segar, minggu ke-1 berbau sangat busuk,
minggu ke-2 berbau busuk, minggu ke-3 berbau sangat busuk dan merangsang. Hal
ini menunjukkan bahwa silase memiliki kualitas yang kurang baik karena bau
silase sangat busuk dan merangsang. Bau silase yang baik adalah berbau busuk. Bau
busuk dan merangsang pada silase tersebut dikarenakan adanya udara yang masuk
dalam plastik, sehingga mikroorganisme beraktivitas karena didukung oleh
suasana yang aerob, seharusnya tempat silo harus dalam suasana anaerob. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Murni et al. (2008) yang menyatakan udara
(oksigen) dapat masuk, populasi yeast dan jamur akan meningkat dan menyebabkan
panas dalam silase karena proses respirasi, sehingga menyebabkan perubahan untuk
bahan silase. Rasa silase dari secara garis besar adalah asam. Hal ini
dikarenakan bakteri yang ada pada sampel akan bekerja pada suasana asam dan
dalam keadaan anaerob. Silase tersebut mempunyai kualitas yang sangat baik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Deptan (1980) yang menyatakan bahwa silase yang baik
mempunyai rasa yang asam.
4.1.2. Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan tekstur silase
gamal dengan penambahan bekatul 7,5 gram, diperoleh hasil pada minggu ke-0
bertekstur sesuai asli, minggu ke-1 bertekstur lembek, ke-2 bertekstur agak
remah dan ke-3 bertekstur lembek. Silase yang terbentuk menandakan berkualitas
jelek karena tekstur berubah menjadi lembek dikarenakan adanya rongga udara
yang mengakibatkan adanya uap air yang tercampur dalam sampel tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Komar (1984) yang menyatakan bahawa hal-hal yang dapat
menyebabkan kerusakan silase adalah pemadatan hijauan dalam silo yang kurang
sempurna dan penutupan silo yang tidak sempurna.
Pioner Development foundation (1991) menambahkan bahwa kadar air yang rendah
dapat mempengaruhi tekstur silase.
4.1.3. Warna
Berdasarkan
hasil praktikum pengamatan warna dari silase daun gamal dengan penambahan urea 7,5
gram, diperoleh hasil pada minggu ke-0 berwarna hijau, minggu ke-1 dan 2
berwarna hijau kecoklatan dan ke-3 berwarna hijau seperti daun direbus. Warna
pada silase dikarenakan kandungan kadar air dalam daun gamal yang dimampatkan
dalam suasana anaerob sehingga tidak terjadi proses fotosintesis dan
menyebabkan warna menjadi hijau seperi daun direbus (menandakan normal). Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Febrisiantosa (2007) yang menyatakan silase
yang berkualitas baik mempunyai ciri-ciri teksturnya tidak berubah, tidak
menggumpal, berwarna hijau seperti daun direbus dan berbau asam. Silase
merupakan hijauan yang diawetkan dengan cara fermentasi dalam kondisi kadar air
yang tinggi (40-80%).
4.1.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan
jamur dari silase daun gamal dengan penambahan bekatul 7,5 gram, diperoleh
hasil pada minggu ke-0 sampai minggu ke-1 tidak terdapat jamur dan pada minggu
ke-2 dan ke-3 ada banyak jamur. Kualitas silase tersebut tergolong sangat jelek
dikarenakan adanya jamur yang sangat
banyak pada minggu terakhir. Pertumbuhan jamur pada silase ini dapat disebabkan
karena kondisi lingkungan yang mempunyai kelembapan tinggi dan aliran udara
yang kurang baik yang tidak sesuai dengan keadaan normalnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pioner Development foundation
(1991) bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas silase adalah asal atau jenis
hijauan, temperatur penyimpanan, tingkat pelayuan sebelum pembuatan silase,
tingkat kematangan atau fase pertumbuhan tanaman, bahan pengawet, panjang
pemotongan, dan kepadatan hijauan dalam silo. Regan menambahkan (1997) bahwa kualitas
silase yang baik tidak terdapat jamur.
4.1.5. Penggumpalan
Berdasarkan hasil pratikum pengamatan
ada tidaknya penggumpalan silase daun gamal dengan penambahan bekatul 7,5 gram,
diperoleh hasil pada minggu ke-0, minggu ke-1 tidak terdapat penggumpalan, ke-2
dan ke-3 terdapat penggumpalan menyeluruh.
Hal ini disebabkan pada minggu ke-2 dan ke-3 karena adanya oksigen dalam
plastik, sehingga uap air dan oksigen
dalam plastik tersebut menyebabkan silase menggumpal.Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Murni
et al. (2008) yang menyatakan bahwa udara (oksigen) dapat masuk, populasi yeast dan
jamur akan meningkat dan menyebabkan panas dalam silase karena proses respirasi
sehingga dapat menyebabkan penggumpalan.
4.1.6. pH
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan pH dari silase daun
gamal dengan penambahan bekatul 7,5 gram, diperoleh hasil pada minggu ke-0 pH
6,08, minggu ke-1 pH 5,37, minggu ke-2 pH 5,23 dan minggu ke-3 pH 5,04. Hal ini
membuktikan penambahan bekatul dapat menjadikan suasana menjadi asam, ciri-ciri silase yang baik yaitu bersifat
asam. Hal ini sesuai dengan Siregar (1996) bahwa, pada pembuatan silase perlu
ditambahkan bahan pengawet agar terbentuk suasana asam dengan derajat keasaman
optimal. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa tidak
tumbuhnya jamur dalam silase ini sangat penting untuk dipertahankan karena pH
pertumbuhan optimum jamur adalah 4,0-6,5.
4.2. Amoniasi
Hasil pengamatan praktikum pembuatan
amoniasi jerami padi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengamatan Organoleptik Amoniasi Jerami Padi dengan Urea
Kriteria
|
Minggu 0
|
Minggu 1
|
Minggu 2
|
Minggu 3
|
Skor
|
Warna
|
Kuning kecoklatan
|
Kuning kecoklatan
|
Coklat
|
Coklat
|
4
|
Bau
|
Segar
|
Berbau amoniak tidak
menyengat
|
Berbau amoniak
menyengat
|
Berbau amoniak
menyengat
|
9
|
Rasa
|
Hambar
|
Hambar
|
Hambar
|
Hambar
|
|
Tekstur
|
Sesuai dengan asli
|
Agak remah
|
Agak remah
|
Remah
|
8
|
pH
|
8,06
|
8,88
|
8,85
|
9,00
|
8
|
Suhu
|
28,3
|
28,25
|
29,35
|
27,95
|
|
Jamur
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
9
|
Penggumpalan
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
9
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2011.
4.2.1. Bau dan rasa
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan bau dan
rasa amoniasi jerami padi dengan penambahan urea 28 gram diperoleh hasil bahwa
amoniasi pada minggu ke-0 berbau segar, minggu ke-1 berbau amoniak tidak menyengat dengan rasa hambar, minggu ke-2 dan ke-3 berbau amoniak menyengat dengan rasa
hambar. Rasa hambar menandakan bahwa amoniasi jerami
padi tidak terkontaminasi bakteri atau jamur dari luar. Bau amoniak
menyengat pada amoniasi disebabkan karena tingginya kadar urea yang dipakai
saat proses amoniasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono
(1986) yang menyatakan bahwa kandungan urea pada proses amoniasi mempengaruhi
tinggi rendahnya kandungan amoniak, yang menimbulkan bau menyengat pada
hasil amoniasi.
4.2.2. Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan tekstur amoniasi jerami padi dengan
penambahan urea 28 gram diperoleh hasil tekstur amoniasi jerami minggu ke-0 sesuai
asli, minggu pertama agak remah, minggu ke-2 agak remah, dan minggu ke-3 remah.
Perubahan tekstur tersebut diakibatkan oleh adanya
penguraian ikatan serat pada jerami oleh amonia, sehingga tekstur dari jerami
amoniasi berubah dari kasar atau keras menjadi lembek akibat
adanya proses amoniasi. Hal ini sesuai
pendapat Tonysapi (2008) yang menyatakan bahwa tujuan amoniasi adalah mengurai ikatan
serat yang sangat kuat pada dinding jerami tersebut, agar sellulosa dan
hemisellulosa yang mempunyai nilai energi sangat tinggi bisa dicerna dan
diserap oleh pencernaan ternak ruminansia.
4.2.3. Warna
Berdasarkan hasil praktikum
pengamatan warna amoniasi jerami padi dengan penambahan urea 28 gram diperoleh
hasil bahwa jerami amoniasi pada minggu ke-0 dan minggu ke-1 berwarna kuning
kecoklatan, minggu ke-2 dan ke-3 berwarna coklat. Perubahan
warna tersebut akibat adanya penambahan ammonia pada jerami dan diperam pada
kondisi anaerob. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi (2009) yang menyatakan
bahwa manfaat dari amoniasi yaitu merubah tekstur dan warna jerami yang semula
keras berubah menjadi lunak dan rapuh, warna berubah dari kuning kecoklatan
menjadi coklat tua.
4.2.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan jamur amoniasi jerami padi dengan
penambahan urea 28 gram diperoleh hasil bahwa pada jerami amoniasi baik pada
pengamatan pada minggu ke-0 hingga minggu ke-3 menunjukkan bahwa tidak terdapat
jamur yang tumbuh pada jerami amoniasi. Amoniasi jerami padi tidak terdapat
jamur, hal ini menunjukkan bahwa pembuatan amoniasi jerami padi tersebut
berhasil. Penambahan urea sebagai sumber ammonia pada
jerami dalam kondisi anaerob juga dapat digunakan sebagai cara pengawetan
jerami agar tidak ditumbuhi jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi
(2009) yang menyatakan bahwa manfaat amoniasi adalah meningkatkan NH3
pada cairan rumen, memberikan bahan nitrogen yang positif, menghambat
pertumbuhan jamur, dan memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami.
4.2.5. Penggumpalan
Berdasarkan hasil
praktikum pengamatan penggumpalan
amoniasi jerami padi dengan penambahan urea 28 gram
diperoleh hasil bahwa pada amoniasi
jerami padi pada minggu ke-0 sampai minggu ke-3 tidak
terjadi penggumpalan. Penggumpalan
tersebut dipengaruhi oleh adanya jamur yang terkontaminasi didalam proses
amoniasi. Kualitas amoniasi jerami padi termasuk sangat baik, karena tidak
terjadi penggumpalan Hal ini sesuai
dengan pendapat Komar (1984) yang menyatakan bahwa ciri – ciri kualitas
amoniasi yang baik yaitu berbau amonia menyengat, berwarna coklat tua, tekstur
remah, pH basa dan tidak berjamur atau menggumpal.
4.2.6. pH
Berdasarkan hasil
praktikum pengamatan pH amoniasi jerami padi dengan penambahan urea 28 gram diperoleh hasil
bahwa pada amoniasi jerami padi pada minggu ke-0 sampai
minggu ke-3 mengalami peningkatan pH. Hal ini dikarenakan penambahan urea
mengakibatkan pH pada amoniasi jerami padi meningkat oleh pengaruh adanya
bakteri asam butirat. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1996) yang
menyatakan bahwa peningkatan pH pada proses amoniasi disebabkan oleh bakteri
yang bersifat basa. Syarief et al. (2003)
menambahkan bakteri asam butirat yang menyebabkan pH basa dapat tumbuh pada pH
> 7.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dapat disimpulan bahwa silase yang
dihasilkan kurang baik karena terdapat jamur yang banyak dan terjadi
penggumpalan. Pada proses pembuatan silase
dibutuhkan suasana yang kedap udara agar tercipta suasana anaerob untuk
pertumbuhan bakteri sehingga diperlukan pemadatan yang baik (tidak ada
rongga/celah) agar bersifat anaerob dalam tempat pemeraman. Amoniasi jerami padi
yang dihasilkan sangat bagus karena tidak ada jamur dan tidak ada penggumpalan
serta pH mencapai 9.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum
Teknologi Pengolahan Pakan yaitu sebaiknya asisten lebih mendampingi praktikan saat
proses pembuatan amoniasi maupun silase agar semua praktikan dapat mengerti
dengan baik mengenai pelaksanaan praktikum dan sebaiknya asisten lebih cermat
dalam pengoreksian pretes. Selain itu, kebersihan laboratorium juga harus
dijaga, karena baunya yang tidak enak mengganggu kegiatan praktikum. Praktikum
dilengkapi dengan analisis proksimat agar dapat membedakan antara sampel
sebelum perlakuan dan sampel sesudah perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian, 1980. Silase sebagai Makanan
Ternak. Departemen
Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Ciawi, Bogor.
Febrisantosa,
S. 2007. Silase
Komplit Untuk Pakan Ternak. http://jiwocore.
wordpress.com/2009/01/06/silase-komplit-untuk-pakan-ternak/.
Diakses pada tanggal 11 Desember 2010 pukul 13.00 WIB.
Hartadi, H, ReksohadiprojoS. dan A.D. Tillman. 1993. Tabel- tabel Komposisi Bahan
Pakan. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta
Komar, A. 1984. Teknologi
Pengolahan Jerami sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian Grahita, Bandung .
Lubis, S., R. Rachmat, Sudaryono., S. Nugraha. 2002.
Pengawetan Dedak Dengan Metode Inkubasi. Balitpa Sukamandi, Kerawang
Murni, R., Suparjo, Akmal dan B. L.
Ginting. 2008. Teknologi pemanfaatan Limbah untuk pakan. Laboratorium Makanan Ternak fakultas Peternakan
Universitas, Jambi. http://jojo.files.wordpress.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2010 pukul
13.08 WIB.
Pioner Development Foundation.
1991. Silage Technology. A.Trainers Manual. Pioner Development Foundation for
Asia and The Pacific Inc. :15 – 24.
Rahardi, S.
2009. Pembuatan Amoniasi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak. http://ilmuternak.wordpress.com/nutrisi/teknik-pembuatanamoniasi-urea-jerami-padi-sebagai-pakan-ternak/ Diakses pada
tanggal 10 Desember 2010 pukul 18.34.WIB.
Regan, C.S. 1997. Forage Concervation in The Wet Dry
Tropics for Small Landholder.
Siregar, S.B.
1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar
Swadaya, Jakarta .
Soejono, M. 1986. The Effect
of Duration (weeks) Urea Ammonia Treatment on In Vivo Digestibility.
Unpublished.
Syarief, R., La E., dan C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press. Bogor .
Tillman, D.A., H. Hartadi, S.
Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Tonysapi. 2008. Pengawetan Pakan Dengan Cara Amoniasi. http://multiply.com// Diakses pada tanggal 11 Desember 2010 pukul
13.33 WIB.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan bekatul
Kebutuhan bekatul =
dosis bekatul x BK daun gamal
=
5% x (500 x 30%)
=
5% x 150 g
=
7,5 g
Lampiran
2. Perhitungan kebutuhan urea
Konversi ke BK jerami padi = BK jerami padi x gram bahan
=
70% x 500 g
=
350 g BK
Kebutuhan urea = dosis urea x BK jerami
padi
=
8% x 350 g
= 28 g
Lampiran 3. Perhitungan
penambahan air
Volume air yang dibutuhkan =
40% =
=
2000
+ 40 a = 15000 + 100 a
a
= 83,33 ml
Lampiran 4. Gambar
Silase Daun Gamal dengan Penambahan Bekatul
|
|
Ilustrasi 1. Silase
Daun Gamal
Minggu ke-0
|
Ilustrasi 2. Silase
Daun Gamal
Minggu
ke-1
|
|
|
Ilustrasi 3. Silase Daun Gamal
Minggu ke-2
|
Ilustrasi 4. Silase Daun Gamal
Minggu ke-3
|
Lampiran
5. Gambar Amoniasi erami
Padi dengan Penambahan Urea
|
|
Ilustrasi 5. Amoniasi Jerami Padi
Minggu ke-0
|
Ilustrasi 6. Amoniasi Jerami Padi
Minggu ke-1
|
|
|
Ilustrasi 7. Amoniasi Jerami Padi
Minggu ke-2
|
Ilustrasi 8. Amoniasi Jerami Padi
Minggu ke-3
|
No comments:
Post a Comment